Meskipun The Hague Rules telah di-amandemen melalui Protokol 1968 atau The Hague Visby Rules namun hal itu belum langsung memberikan kepuasan kepada para pihak terutama bagi negara-negara pengirim yang mayoritas berasal dari negara-negara berkembang. Salah satunya adalah karena masih belum jelasnya tanggung jawab pengangkut (carrier) dalam pengangkutan kontainer.
Dengan adanya sejumlah kekurangan tersebut, Protokol 1968 (The Hague Visby Rules) tidak banyak diratifikasi oleh negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia.
Berdasarkan kenyataan itu, UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mengusulkan perubahan kembali terhadap The Hague Visby Rules. UNCTAD lalu mengundang The United Nations Commision on International Trade Law guna mempelajari kekurangan-kekurangan itu. Maka setelah melalui beberapa kali penyempurnaan, pada tahun 1970 bertempat di Hamburg, lahirlah United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘The Hamburg Rules’.
Jangkauan Tanggung Jawab Pengangkut Menurut The Hamburg Rules
Dalam The Hague Rules, kapal (ship) didefinisikan sebagai “any vessel used for the carriage of goods by sea” dimana definisi ini dipakai dalam penentuan periode tanggung jawab pengangkut.
Permasalahan muncul manakala sebelum barang masuk ke dalam kapal (ship), barang tersebut dimuat dalam suatu tongkang. Apakah tanggung jawab carrier juga meliputi kerusakan atau kerugian atas barang yang ada di atas tongkang tersebut (karena yang melakukan perjalanan laut adalah kapal yang berlayar di lautan internasional) ?. Maka atas ambiguitas ini kemudian diselesaikan dalam The Hamburg Rules yang memperbaiki definisi ‘carriage of goods’ dari sebelumnya : “covers the period from the time when the goods are loaded on to the time they are discharged from the ship”, menjadi “covers the period during which the carrier is in charge of the goods at the port of loading, during the carriage and at the port of discharge”. Dengan demikian, tanggung jawab pengangkut meliputi periode atau masa dimana pengangkut menguasai barang-barang itu di pelabuhan muat, terus berlanjut selama pengangkutan, dan berakhir di pelabuhan pembongkaran. Maka untuk kasus pemakaian tongkang oleh carrier dalam contoh di atas, pengangkut dinyatakan telah memiliki tanggung jawab atas barang yang dimuat di atasnya meskipun belum dilakukan loading ke atas kapal (ship).
The Hamburg Rules juga mengatur tanggung jawab pengangkut apabila terjadi keterlambatan penyerahan barang. Dalam Article 5 (2), ‘delay’ didefinisikan sebagai “when goods have not been delivered at the port of discharge provided for in the contract of carriage by sea within the time expressly agreed upon or, in the absence of such agreement, within the time which it would be reasonable to require of a deligent carrier, having regard to the circumstance of the case”.
Bahwa keterlambatan penyerahan dianggap terjadi apabila barang-barang belum diserahkan di pelabuhan pembongkaran yang telah ditentukan dalam perjanjian pengangkutan laut dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama. Jika tidak dibuat perjanjian yang tegas tentang jangka waktu tersebut maka diambil suatu jangka waktu yang layak dibutuhkan oleh pengangkut yang berhati-hati dan berpengalaman terhadap kondisi kasus tersebut.
Batas Ganti Rugi Maksimum Berdasarkan The Hamburg Rules
Ketentuan batas ganti rugi maksimum tercantum dalam Article 6 (1a), “The liability of the carrier for loss resulting from loss of or damage to goods according to the provisions of article 5 is limited to an amount equivalent to 835 units of account per package or other shipping unit or 2.5 unit of account per kilogram of gross weight of the goods lost or damaged, whichever is the higher”. Satuan uang ini menurut Article 26 adalah SDR yang nilainya ditentukan oleh IMF (International Monetary Fund).
Sedangkan dalam kasus keterlambatan, Article 6 (1b) menerangkan bahwa “The liability of the carrier for delay in delivery according to the provisions of article 5 is limited to an amount equivalent to two and a half times the payable for goods delayed, but not exceeding the total freight payable under the contract of carriage of goods by sea”.
Meskipun sudah diatur batas maksimum tersebut, sesuai Article 6 (4), pihak pengangkut dan pengirim dapat menetapkan batas yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan dalam The Hamburg Rules. Dalam hal ini, pengangkut akan kehilangan hak untuk membatasi tanggung jawab apabila terbukti bahwa kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan barang itu sebagai akibat dari suatu perbuatan atau kelalaian pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan kehilangan, kerusakan atau keterlambatan.
Jika terjadi keterlambatan penyerahan barang, si penerima dapat membuat surat pemberitahuan tertulis kepada pengangkut dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak barang diserahterimakan kepada penerima.
Referensi :
Dr. H. Djafar Al Bram, S.H., S.E., M.H., M.M., Bc.KN., CPM., M.AP. 2011. Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II): Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm. PKIH FH Universitas Pancasila.