Selain diatur dalam skala internasional, perjanjian pengangkutan sebagai salah satu bentuk kontrak antara pengangkut dan pengirim barang juga diatur di dalam negeri dengan mengacu pada aturan hukum yang berlaku seperti KUHD, UU, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain.
KUHD sebagai produk hukum warisan Belanda turut memberikan penjelasan tentang kewajiban pengangkut dalam kontrak pengangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 468 yang menyatakan, “Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut”. Selanjutnya, “Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat daripada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya”.
Sementara itu, dalam Pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disebutkan, “Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya”. Sedangkan nilai tanggung jawabnya disebutkan dalam Pasal 2, “Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati”.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa : (a) kematian atau lukanya penumpang, (b) musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut, (c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut, (d) kerugian pihak ketiga.
Dalam tingkatan di bawahnya, Pasal 177 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan menyatakan bahwa, “Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan”. Pada ayat 3 disebutkan, “Sebelum melaksanakan pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, perusahaan angkutan di perairan harus memastikan : (a) sarana angkutan kapal telah memenuhi persyaratan kelaiklautan, (b) sarana angkutan kapal telah diisi bahan bakar dan air tawar yang cukup serta dilengkapi dengan pasokan logistik, (c) ruang penumpang, ruang muatan, ruang pendingin, dan tempat penyimpanan lain di kapal cukup memadai dan aman untuk ditempati penumpang dan/atau dimuati barang, dan (d) cara pemuatan, penanganan, penyimpanan, penumpukan, dan pembongkaran barang dan/atau naik atau turun penumpang dilakukan secara cermat dan berhati-hati”.
Tanggung jawab lainnya dari pengangkut disebutkan dalam Pasal 180 PP No. 20 Tahun 2010 yaitu, “Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati”.
Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut dalam KUHD, UU, dan PP
Sesuai Pasal 468 KUHD yang dikutip pada awal tulisan ini maka tanggung jawab pengangkut dinyatakan tidak berlaku apabila terjadi peristiwa atau kondisi berikut : (1) suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, (2) cacat daripada barang tersebut, atau (3) oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.
Jika dalam aturan kontrak pengangkutan internasional disebutkan pengecualian tanggung jawab pengangkut satu per satu jenis penyebabnya, maka dalam UU No. 17 Tahun 2008 hanya dinyatakan secara umum dimana perusahaan angkutan di perairan Indonesia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan disebabkan oleh kesalahannya. Begitu juga yang disebutkan dalam PP No. 20 Tahun 2010, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan disebabkan oleh kesalahannya maka perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya”.