Harga Pertanggungan Berdasarkan ‘Agreed Value’

Dalam beberapa kasus, harga pertanggungan yang tercantum dalam schedule polis asuransi mungkin ‘terpaksa’ tidak menggunakan dasar penentuan yang umum dipakai seperti Actual Cash Value (ACV) atau Reinstatement Cost Value (RCV). Salah satunya disebabkan oleh adanya kesulitan saat menentukan nilai sehat (sound value) atas objek yang akan diasuransikan. Untuk menengahi masalah ini, penanggung dan tertanggung dapat membuat kesepakatan dimana penentuan harga pertanggungan atas objek tersebut didasarkan pada agreed value.

Polis-polis yang harga pertanggungannya ditentukan berdasarkan agreed value adalah polis-polis yang menyediakan coverage asuransi dimana apabila harta benda yang diasuransikan mengalami kejadian total loss maka jumlah yang akan dibayarkan oleh penanggung adalah sebesar nilai sum insured yang sudah disetujui (agreed) antara penanggung dan tertanggung. Proses penentuannya harus melibatkan persetujuan kedua belah pihak, meskipun mungkin dalam sejumlah kasus, penanggung lebih cenderung menerima begitu saja (taken for granted) terhadap nilai asuransi yang disampaikan tertanggung.

Karena agreed value dianggap memenuhi nilai pertanggungan penuh (fully insured) selama periode pertanggungan maka ketika terjadi klaim tidak perlu diteliti apakah terjadi underinsurance atau tidak, begitu juga tidak ada perhitungkan terhadap nilai penyusutan (depresiasi) atas harta benda yang mengalami kerusakan tersebut. Dengan kejadian ini, secara sekilas, penentuan harga pertanggungan secara agreed value ini bertentangan dengan prinsip indemnity. Namun dalam hal ini tidak ada pelanggaran dimaksud selama penentuan harga pertanggungan dilakukan secara “bona fide” atau “jujur, berimbang, dan tidak ada fraud”. Hal ini dinyatakan oleh Hakim Mansfield dalam kasus Feise v Aguilar (1811).

Umumnya, polis-polis agreed value diterbitkan untuk objek asuransi yang memang sulit diukur nilai pasarnya seperti perhiasan, lukisan, patung, barang antik, dan karya seni lainnya. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan pendapat atau opini dari ahli penilai yang berkompeten. Jika tidak mengacu pada opini dari ahli yang berpengalaman dapat memunculkan perselisihan (dispute) saat terjadi klaim. Oleh karena itu, nilai pertanggungan atas benda-benda di atas semestinya ditentukan terlebih dahulu oleh penanggung dan tertanggung berdasarkan penilaian ahli atau professional yang berpengalaman di bidangnya. Apabila terjadi penilaian yang berlebihan (over valued) dan ada indikasi fraud maka agreed value yang sudah ditetapkan di awal dapat diabaikan oleh penanggung seperti dalam kasus Lewis v Rucker (1761).

Bagaimana jika kejadiannya partial loss (kerugian sebagian) ?. Di bawah polis agreed value, penanggung dapat mengambil opsi penyelesaian klaim dengan cara melakukan perbaikan (repair), namun jika tidak memungkinkan, ia dapat membayar sejumlah nilai yang ekuivalen dengan nilai kerugian yang berlaku di pasaran (market value) meskipun tentunya akan mengalami kesulitan dalam mencari patokan harga yang resmi.

Karena penentuan harga pertanggungan sudah ditentukan berdasarkan agreed value maka penanggung tidak perlu meneliti apakah terjadi underinsurance atau tidak sehingga tidak ada perhitungan pro rata condition of average saat terjadi klaim baik klaim partial loss maupun total loss.

agreed value

Share this article :

Disclaimer

All content and information on this website is published in good faith and for general information purpose only. We do not make any warranties about the completeness, reliability and accuracy of information on this site or found by following any link on this site. Any action you take upon the information found on this website is strictly at your own risk.

The owner will not be liable for any errors or omissions in this information nor for the availability of this information. The owner will not be liable for any losses, injuries, or damages from the display or use of this information.