Secara umum, dalam dunia konstruksi terdapat 2 (dua) pihak utama yang terlibat selama proses pekerjaan konstruksi berlangsung yaitu pemilik proyek (employer atau principal) dan pelaksana proyek (kontraktor).
Dengan demikian, pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan dalam kontrak pekerjaan konstruksi tidak dapat mengambil manfaat maupun tidak diberikan beban atau tanggung jawab. Hal ini sesuai dengan doktrin yang disebut ‘privity of contract’ yang dianut dalam English law.
Dengan adanya doktrin tersebut maka ketika suatu bangunan konstruksi sudah selesai dan diserahterimakan kepada pembeli atau konsumen dari developer yang mempekerjakan arsitek atau consulting engineer, maka ketika si konsumen merasa dirugikan sebagai akibat kesalahan desain arsitek atau kesalahan perhitungan konstruksi oleh consulting engineer yang ditunjuk developer, ia tidak bisa menuntut langsung ke arsitek atau engineer tersebut. Hal ini dikarenakan tidak ada hubungan kontraktual secara langsung berdasarkan doktrin privity of contract antara konsumen dan arsitek atau engineer dimaksud. Ia hanya bisa melakukan upaya tuntutan kepada developer apabila kerugian yang dialami merupakan bentuk pelanggaran kontrak (breach of contract). Dalam situasi ini, yang mungkin terjadi adalah kondisi rantai tuntutan ganti rugi (the chain of indemnity) dimana konsumen menuntur developer, selanjutnya developer menuntut arsitek atau engineer yang ditunjuknya. Guna mengatasi kelemahan itu maka diperkenalkan sebuah metode yang disebut ‘collateral warranties’.
Collateral warranties adalah perjanjian yang dikaitkan atau dihubungkan dengan perjanjian utama (primary contract). Ia mengatur duty of care yang diperluas oleh salah satu pihak yang berkontrak kepada pihak ketiga (third party) yang bukan merupakan pihak yang terlibat dalam perjanjian utama. Dengan adanya collateral warranties ini, dalam kasus konsumen yang dirugikan sebagai akibat dari pelanggaran duty of care arsitek atau engineer, maka dimungkinkan bagi konsumen itu untuk melakukan tuntutan langsung meskipun perjanjian utamanya sebenarnya hanya ia dengan developer.
Dalam skenario lain, employer melakukan kontrak pekerjaan konstruksi dengan kontraktor utama dimana si kontraktor utama ini mempekerjakan sub kontraktor. Dengan menyediakan collateral warranty, sub kontraktor yang seharusnya hanya memiliki hubungan kontraktual dengan kontraktor utama itu kini ‘memproduksi’ hubungan kontraktual langsung dengan employer.
Jika saat pelaksanaan konstruksi terjadi defect yang dalam perjanjian kontrak antara employer dan kontraktor utama menjadi tanggung jawab si kontraktor utama, sementara ternyata kondisi keuangan kontraktor utama insolvent maka tidak mungkin si employer dapat memperoleh recovery dari kontraktor utama itu. Jika setelah ditelusuri, defect itu terjadi akibat kesalahan atau kelalaian sub kontraktor maka employer dapat melakukan tuntutan langsung kepada sub kontraktor di bawah collateral warranty yang sudah dibuat. Dalam hal ini, employer berposisi sebagai ‘beneficiary’ sedangkan sub kontraktor bertindak sebagai ‘warrantor’.