Dalam berbagai kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pemasaran produk asuransi terkadang ditemui pertanyaan dasar terkait pemenuhan prinsip dasar asuransi ”insurable interest”. Pertanyaan ini sekilas mudah sekali dijawab meskipun sebenarnya jika ditelusuri lebih lanjut bisa saja menimbulkan perdebatan yang panjang.
Jawaban standard atas pertanyaan, ”siapa yang berhak mengasuransikan” biasanya adalah : ”seseorang atau lembaga yang memiliki insurable interest atas objek yang akan diasuransikan”. Secara umum, jawaban tersebut tidak salah namun juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini disebabkan karena pihak yang “mengasuransikan” bisa saja orang yang berbeda dengan yang “diasuransikan”.
Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan bahwa dalam proses penutupan asuransi sebenarnya bisa saja melibatkan banyak pihak : (1) proposer/applicant/pemohon asuransi (2) the insurer/penanggung (3) policy holder/pemegang polis (4) the insured/participant/tertanggung, dan (5) the beneficiary/penerima manfaat. Boleh ditambahkan lagi (meski tidak dijumpai dalam berbagai referensi/bahan bacaan asuransi) : (6) policy payer/pembayar polis.
Siapa yang Berhak Mengasuransikan ?
Seorang ayah yang tinggal di Yogyakarta hendak membelikan mobil untuk anaknya yang menempuh pendidikan di Jakarta. Faktur pembelian, BPKB, dan STNK, semua diatasnamakan anaknya. Lalu ayahnya memandang perlu untuk mengasuransikan mobil tersebut ke sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Dalam hal ini si ayah dapat saja disebut sebagai proposer/applicant. Namun karena nama yang disebutkan dalam polis sebagai tertanggung adalah anaknya maka policy holder dan the insured adalah anaknya. Apakah hal ini kemudian menyalahi prinsip asuransi (dengan alasan bahwa yang membelikan mobil dan membayar polis asuransi adalah orang lain) ?. Mungkin saja ada pendapat yang menyatakan demikian. Namun penulis berpandangan bahwa hal ini dapat dibenarkan. Proposer/applicant sekaligus policy payer bisa saja seseorang yang bukan the insured sebagaimana yang disebutkan dalam schedule atau ikhtisar polis. Nama yang disebutkan sebagai tertanggung cukup merupakan orang yang memenuhi unsur-unsur pokok dalam insurable interest (semuanya ada empat unsur, salah satunya “hubungan antara tertanggung dan pokok pertanggungan diakui oleh hukum”). Artinya meskipun unsur pokok lain terpenuhi : (1) ada harta benda yang dapat dipertanggungkan (2) bahwa harta benda itu harus menjadi pokok pertanggungan dan (3) bahwa tertanggung harus memiliki hubungan dengan pokok pertanggungan. Namun jika ketiga unsur tersebut tidak diakui oleh hukum maka tidak terpenuhi keseluruhan syarat-syarat yang harus terkandung dalam insurable interest. Pasal 250 KUHD menyatakan, “apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi”.
Meskipun dalam kenyataan, yang membeli mobil dan membayarkan polis asuransi sebenarnya adalah sang ayah namun karena dalam dokumen resmi yang dikeluarkan instansi yang berwenang (BPKB dan STNK) disebutkan atas nama anaknya maka pihak yang akan menerima pembayaran klaim asuransi adalah tetap sang anak sehingga yang disebutkan sebagai tertanggung cukup nama sang anak. Sang ayah pada dasarnya tidak memenuhi unsur insurable interest yang nomor 4 sehingga justru ia tidak dapat menuntut pembayaran klaim asuransi atas dirinya karena tidak cukup terdapat bukti hukum kuat yang menyatakan bahwa ia adalah pemilik kendaraan yang sah.
Kasus Penolakan Klaim Kendaraan Hilang dengan Alasan yang Membayar Premi bukanlah Tertanggung
Dalam sebuah tulisan tentang temuan kasus BMAI yang terpublikasi di Media Asuransi Edisi No 297 Tahun XXXV Oktober 2015 didapati adanya laporan seorang nasabah asuransi yang mengadukan penolakan klaimnya oleh sebuah perusahaan asuransi hanya karena ditemukan fakta bahwa yang membeli kendaraan tersebut adalah pamannya sehingga diasumsikan bahwa tertanggung (sang keponakan) tidak mengungkapkan fakta atau telah tidak membuat pernyataan yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan penutupan asuransi (atau dikatakan bahwa tertanggung telah melakukan pelanggaran atas prinsip “duty of disclosure”). Penanggung mungkin juga mendasarkan alasan adanya pelanggaran prinsip insurable interest karena yang sebenarnya membayar pembelian mobil tertanggung adalah orang lain.
Setelah melalui proses mediasi BMAI yang panjang pada akhirnya kasus di atas dapat diselesaikan dengan pembayaran klaim kepada tertanggung meskipun jika penanggung memahami konsep yang benar tentu tidak perlu sampai terjadi perselisihan yang berlarut-larut. Bukti kepemilikan yang sah berupa dokumen BPKB dan STNK atas nama keponakan cukup menjadi evidence bahwa unsur insurable interest telah terpenuhi. Kasus ini juga dapat memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa kita tidak harus cukup puas dengan slogan ”kerja, kerja, kerja !” namun juga sangat penting untuk terus “belajar, belajar, belajar !” agar proses bisnis terus mengalami perbaikan dan kemajuan dari waktu ke waktu.