Jamaah calon haji Indonesia 1438 H atau 2017 M saat ini sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci dimana seperti tahun-tahun sebelumnya, jamaah haji asal Indonesia tahun ini juga telah diasuransikan jiwanya terhadap risiko meninggal dunia atau cacat tetap, baik karena kecelakaan (accident) maupun sakit (sickness) meskipun dengan limit yang berbeda.
Sejak dikeluarkannya fatwa asuransi haji oleh MUI tahun 2002, sudah 15 (lima belas) tahun belum terdengar adanya pembahasan ulang atau review atas fatwa tersebut. Sementara pelaksanaan di lapangan, baik yang menyangkut sistem pengelolaan dana maupun ruang lingkup pengcoveran dan problematika klaim tentunya kadang mengalami sesuatu atau hal baru yang belum tercakup dalam materi fatwa.
Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji, telah ditetapkan bahwa akad yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan perusahaan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji adalah Menteri Agama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Fatwa yang sudah berumur 15 (lima belas) tahun itu secara akademisi dapat membuka peluang beberapa pertanyaan, paling tidak menyangkut 2 (dua) hal :
Pertama, mengenai besarnya ujrah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas besaran prosentasenya. Seperti diketahui, asuransi ini dari tahun ke tahun dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang bersifat komersial, bukan oleh lembaga negara yang bersifat nirlaba. Tentunya perusahaan asuransi berhak untuk membuat estimasi keuntungan atau profit atas tender yang diikutinya. Sementara, dalam ketentuan khusus dari fatwa tersebut hanya disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip “adil dan wajar”. Sedangkan definisi “adil dan wajar” itu adalah ukuran yang cenderung bersifat “subjektif” dan sulit diukur jika tidak ditetapkan secara kuantitatif. “Adil dan wajar” menurut versi perusahaan asuransi pemenang tender belum tentu sama persepsinya dengan “adil dan wajar” menurut jamaah haji sebagai peserta asuransi yang dikenakan biaya untuk membayar premi. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi menetapkan ujrah sebesar 40% dari premi per nasabah atau dari total premi terkumpul telah dianggap mengikuti “prinsip adil dan wajar” ?. Bisa jadi dari kacamata jamaah haji, angka 40% fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi inipun belum memenuhi syarat “saling rela diantara kalian” (‘an taradhin minkum). Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini sesuai keinginan sendiri.
Kedua, persoalan yang tak kalah pentingnya adalah menyangkut surplus underwriting atau surplus operasional, yang dalam hal ini sebetulnya menjadi hak jamaah haji secara keseluruhan dimana pengelolaannya dalam hal ini diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk demi “kemaslahatan umat”.
“Surplus operasional” adalah kelebihan sisa dana premi setelah dikurangi fee (ujrah) dan pembayaran klaim. Bagian ini menyisakan potensi “penyimpangan” dalam praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh perusahaan asuransi pemenang tender karena tidak ada aturan main yang menyangkut surplus ini. Perusahaan asuransi selain memperoleh ujrah atau fee di awal juga akan memperoleh sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini akan berbagi (melakukan surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama. Secara konsep, dana tersebut tidak selayaknya diambil kembali oleh perusahaan asuransi namun harus dikembalikan kepada jamaah haji. Pilihan ini dirasa menjadi “best option” dari kacamata syariah karena pada dasarnya dana premi yang tersisa setelah dikurangi biaya operasional dan klaim adalah milik jamaah haji. Perusahaan asuransi syariah dalam hal ini hanya bertindak sebagai wakil (operator) dari jamaah haji (ia tidak memiliki hak penuh atas dana tersebut) sehingga tidak selayaknya ia memperoleh bagian lain kecuali hanya sebagian kecil dari fee.
Guna membuka kembali kajian akademis atas fatwa asuransi haji ini, DSN-MUI sepertinya dapat melakukan review atau mengkaji ulang fatwa yang sudah belasan tahun tersebut berjalan, misalnya dengan mempertimbangkan untuk menambahkan akad Wakalah bil Ujrah disamping akad Tabarru’ yang sudah ada. Melalui akad Wakalah bil Ujrah, DSN-MUI dapat menetapkan berapa angka ujrah alias fee yang boleh diambil perusahaan asuransi sehingga titik abu-abu berupa “prinsip adil dan wajar” dapat dihilangkan. Melalui akad Wakalah bil Ujrah juga dapat ditetapkan nasib dari surplus operasional, apakah harus dikembalikan kepada masing-masing jamaah ataukah dikumpulkan dalam fund khusus yang dapat dipakai untuk kemaslahatan ummat.
Dan sebagai pekerjaan rumah terakhir yang juga krusial adalah menyangkut nasib perusahaan asuransi syariah manakala tidak terjadi surplus operasional, melainkan sebaliknya, defisit operasional. Hal ini bisa kita lihat pada musim haji 2006 dimana sebuah perusahaan asuransi swasta pemenang tender mengalami kerugian akibat jumlah klaim yang melebihi total premi asuransi haji yang dikelolanya. Sebagai pengelola, secara teoritis, seharusnya perusahaan asuransi tidak mengenal “rugi” karena ia hanya bertindak sebagai “pengelola” dan tidak ikut menanggung defisit (teori asuransi syariah tidak mengenal transfer of risk namun sharing of risk) kecuali terdapat kecurangan dari perusahaan asuransi itu sendiri.
Penutup
Ibadah haji adalah proses pemenuhan rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan penuh kehati-hatian, termasuk terhadap pengelolaan premi asuransi haji yang jika dikelola secara tidak transparan dan tidak memenuhi kaidah syari’, tetap dapat memunculkan potensi penyelewengan oleh berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, kiranya menjadi perlu dipertimbangkan oleh para stakeholder penyelenggaraan haji untuk membuka diskusi kembali atas 15 belas tahun berlangsungnya Fatwa Asuransi Haji No. 39/DSN-MUI/X/2002, demi kemaslahatan ummat.