Dalam UU Asuransi No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan definisi Asuransi sebagai “perjanjian antara dua pihak yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asuransi adalah bentuk sebuah perjanjian 2 (dua) pihak dalam hal ini antara perusahaan asuransi atau penanggung di satu pihak dan pemegang polis atau tertanggung di pihak lain. Suatu perjanjian adalah sebuah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa tersebut timbullah suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak yang disebut sebagai perikatan. Jadi hubungan antara perjanjian dan perikatan adalah bahwa suatu perjanjian akan melahirkan perikatan, atau dengan kata lain salah satu sumber perikatan adalah perjanjian. Keduanya mengikatan diri dalam sebuah perikatan untuk saling berjanji guna memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
Terdapat juga istilah kontrak yang dapat diartikan dalam makna yang lebih sempit yaitu sebuah perjanjian atau persetujuan yang dilakukan atau dituangkan secara tertulis. Contohnya asuransi yang merupakan kontrak tertulis antara tertanggung dan penanggung dimana pemegang polis atau tertanggung berjanji untuk membayarkan premi asuransi dan (atas dasar itu) perusahaan asuransi berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang polis atau tertanggung ketika terjadi klaim. Kontrak asuransi ini dikatakan menganut sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian dimana sesuai KUHPer Pasal 1338 dikatakan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Artinya semua orang diberikan kesempatan untuk membuat perjanjian berupa apa saja dan isi atau tentang apa saja dimana perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang. Namun harus dipahami bahwa kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat umum kontrak agar tidak dikatakan sebagai kontrak ilegal yang tidak berdampak apapun di mata hukum. Persyaratan umum yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dikatakan legal dan mengikat para pihak secara hukum antara lain : (1) harus ada manifestasi kesepakatan bersama atas syarat-syarat kontrak dari masing-masing pihak (mutual assent), (2) masing-masing pihak yang berkontrak harus mempunyai wewenang atau kompetensi hukum (legal capacity), (3) masing-masing pihak harus saling memberi dan menerima sesuatu yang bernilai sama (legally adequate consideration), dan (4) kontrak tidak bertentangan dengan hukum (lawful purpose).
Asal-Usul KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Kehadiran Belanda yang menjajah Indonesia turut mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan di negara kita ini, termasuk keberadaan KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) yang pada awalnya merupakan adaptasi dari Wetboek van Kopphandel buatan pemerintah kolonial Belanda. Sementara, Wetboek van Kopphandel itu merupakan adaptasi dari Code de Commerce buatan Perancis karena Belanda sendiri merupakan negara bekas jajahan Perancis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Code de Commerce merupakan cikal bakal yang menginspirasi dibuatnya Wetboek van Kopphandel yang selanjutnya menjadi KUHD manakala Belanda menjajah Indonesia.
Pada awalnya hukum dagang masih menginduk pada hukum perdata namun seiring dengan perjalanan waktu, aturan hukum pada hukum dagang dikumpulkan menjadi bagian tersendiri yang terpisah sehingga terciptalah KUHD yang tidak menginduk lagi pada KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Hal ini dilatarbelakangi adanya dasar bahwa hukum dagang adalah “hukum perdata khusus” sehingga berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau mengalahkan aturan hukum yang bersifat umum.
Mengapa Pasal-Pasal KUHD Masih Tercantum dalam Wording PSAKI ?
Pengaruh KUHD sampai sekarang masih dapat dilihat jejaknya dalam roda pemerintahan Indonesia, salah satunya masuk ke sektor industri asuransi melalui sejumlah pasal dalam wording polis asuransi yang (masih) mencantumkan penyebutan pasal-pasal KUHD.
Dengan kompleksitas yang luas dalam dunia perdagangan dan jasa di Indonesia maka dimungkinkan adanya aturan hukum yang dikeluarkan pasca kemerdekaan yang belum mampu mengcover semua hal dalam berbagai aktivitas di Indonesia. Maka hukum warisan Belanda sampai sekarang masih dipakai dalam beberapa hal guna menghindari adanya kevakuman atau kekosongan produk aturan hukum di Indonesia. Hal ini sudah dinyatakan sah melalui ketentuan yang termaktub dalam produk hukum dasar tertulis yang tertinggi di Indonesia yaitu UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 tepatnya pada Pasal I Aturan Peralihan yang menyatakan, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Penutup
KUHD sebagai produk hukum pemerintah kolonial Belanda masih dipakai dalam sistem hukum di Indonesia termasuk pasal-pasalnya yang masih dikutip di beberapa pasal pada wording polis asuransi termasuk PSAKI (Polis Standard Asuransi Kebakaran Indonesia). Disamping dilatarbelakangi oleh sejarah lahirnya polis asuransi kebakaran di masa lalu, hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekosongan aturan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.