2 (dua) tahun sejak dibentuknya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada tahun 2011 (sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2011), OJK berhasil membuat aturan penetapan tarif atau rate premi dan akuisisi untuk lini bisnis asuransi kendaraan bermotor dan asuransi harta benda berdasarkan SE Kepala Eksekutif Pengawas IKNB No. SE-06/D.05/2013 tertanggal 31 Desember 2013 beserta lampiran-lampirannya.
Salah satu lampiran yang dijadikan acuan dalam penetapan tarif atau rate premi kebakaran standard (FLEXAS) adalah Tabel II.A Lampiran II SE-06/D.05/2013 yang kemudian direvisi di tahun 2015 dan tahun 2017. Untuk kepentingan pembahasan pada tulisan ini, penulis akan menggunakan lampiran terbaru yaitu Lampiran I SE OJK No. 6/SEOJK.05/2017 tentang Penetapan Tarif Premi atau Konstribusi pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda dan Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun 2017.
Mengapa dalam kenyataan, calon tertanggung yang sama dapat menerima penawaran asuransi dari 3 (tiga) perusahaan asuransi yang berbeda dengan tarif premi yang berbeda pula (kelas konstruksi sama dan sama-sama menggunakan tarif batas bawah) ?. Sebagai contoh, untuk industri tekstil, OJK telah mengkelompokkan bidang usaha ini pada kode okupasi utama 24 dan diperinci lagi ke dalam kode okupasi 3 (tiga) digit dan 4 (empat) digit. Untuk kode 3 digit saja terdapat 10 (sepuluh) jenis okupasi (kode 240 sd 249), sedangkan pada kode 4 (empat) digit terdapat lebih dari 30 (tiga puluh) jenis okupasi. Akibat dari adanya kode okupasi yang sangat spesifik ini, di dalam praktek lapangan kerap memunculkan perbedaan penetapan tarif premi atas suatu nama calon tertanggung yang sama. Padahal maksud dari kelahiran SE OJK di atas adalah untuk mendukung terciptanya persaingan usaha asuransi yang sehat. Tarif premi atau kontribusi sudah ditetapkan sedemikian rupa dengan berpatokan pada jenis okupasi dan kelas konstruksi bangunan yang bersangkutan.
Terdapat calon tertanggung di kota Solo yang bergerak di bidang tekstil yang telah berpengalaman selama lebih dari 3 (tiga) dekade dan memiliki sejumlah besar customer baik di Indonesia maupun di luar negeri. Perusahaan ini mengintegrasikan seluruh proses manufaktur tekstil mulai dari proses weaving, dyeing/finishing, dan garment, dalam satu lokasi yang sama. Melalui pengamatan pada layout bangunan dan survey risiko disimpulkan bahwa jarak antar bangunan pada ketiga proses di atas tidak memungkinkan untuk dapat memisahkan per bangunan sebagai risiko yang terpisah. Dengan demikian, rate premi yang seharusnya digunakan adalah rate terbesar diantara kode okupasi untuk tiga proses di atas. Fakta yang ditemukan adalah bahwa calon tertanggung menerima 3 (tiga) penawaran yang berbeda sebagai berikut :
Calon penanggung 1 (existing) menggunakan kode okupasi 2413 (Weaving, Pre-Weaving Processes: Synthetic fibres) dengan rate 1,428 %o. Calon penanggung 2 (kompetitor) menggunakan kode okupasi 2428 (Dressing and finishing : Mixed) dengan rate 2,065%o. Sedangkan calon penanggung 3 (kompetitor) menggunakan kode okupasi 2465 (Clothing, underwear, jacket, custom tailor and other garment product) dengan rate 1,906%o. Dengan keseluruhan asset yang diasuransikan sebesar Rp 60 milyard maka premi yang harus dibayarkan pun berbeda versi mulai dari terendah Rp 60 milyard x 1,428%o = Rp 85.680.000,00 sampai versi tertinggi Rp 60 milyard x 2,065%o = Rp 123.900.000,00.
Penyebab dari perbedaan atas penetapan kode okupasi yang mengakibatkan perbedaan premi asuransi untuk objek pertanggungan yang sama, sebagaimana kejadian di atas, dapat disebabkan karena adanya persepsi yang tidak sama antara satu underwriter dengan underwriter lainnya. Jika ditarik lebih jauh, perbedaan kesimpulan di atas secara teknis dapat disebabkan oleh kualitas laporan survey yang berbeda, sedangkan kualitas laporan survey yang berbeda bisa disebabkan oleh format laporan survey, tata cara survey, kelengkapan dokumen, dan kualifikasi surveyor yang berbeda pula.