Dalam sebuah case pengajuan klaim asuransi kecelakaan diri (PA-Personal Accident) dari seorang nasabah, pihak perusahaan asuransi menyatakan bahwa kasus tersebut tidak dapat diklaim (unclaimable) dengan alasan bahwa saat terjadinya kecelakaan, pengemudi sepeda motor yang sekaligus sebagai tertanggung tidak memiliki SIM yang valid (status belum diperpanjang).
Kasus penolakan klaim di atas pada akhirnya dapat menjadi bahan diskusi yang menarik mengingat bahwa keputusan klaim tersebut bisa jadi disebabkan oleh masih adanya underwriter atau claim officer yang belum memberi perhatian penuh terhadap redaksional wording polis secara detail, termasuk pada kata-kata yang bersifat khusus. Bahkan ada tidaknya tanda koma (,) pun sebenarnya dapat melahirkan pemahaman yang berbeda. Sementara polis, termasuk wordingnya, adalah bukti perjanjian antara tertanggung dan penanggung dan dapat dianggap sebagai “undang-undang” yang mengikat kedua belah pihak.
Akibat adanya minimnya alokasi waktu untuk melakukan “research” terhadap wording polis asuransi atau terbatasnya forum diskusi secara berkala melalui FGD (Forum Group Discussion), maka pengetahuan petugas menjadi stagnan. Keputusan penyelesaian klaim pun bisa saja hanya menjadi semacam “ritual” rutin dengan meng-copy paste cara menganalisa klaim pada kasus-kasus sebelumnya yang memiliki kemiripan pola dan kejadian yang sama, termasuk dalam case penolakan asuransi PA (Personal Accident) di atas. Dalil pokoknya diambil dari alasan adanya sebuah “pelanggaran hukum” dimana prinsip “insurable risk” tidak boleh melawan atau bertentangan dengan hukum atau undang-undang yang berlaku (not against public policy). Hal ini dipertegas dengan memasukkan “tidak memiliki SIM” sebagai salah satu bentuk dari “pelanggaran peraturan dan perundang-undangan yang berlaku” berdasarkan wording PSAKDI (Polis Standard Asuransi Kecelakaan Diri Indonesia) Pasal 4 ayat 1 butir 1.4.
Apakah Klaim Harus Ditolak ?
Salah satu prinsip dasar asuransi yang wajib dipelajari di awal-awal karir seorang underwriter dan claim officer adalah proximate cause. Pentingnya prinsip dasar asuransi ini dipelajari adalah karena begitu banyaknya wording polis asuransi yang menyebutkan kata-kata ini. Mempelajari proximate cause juga secara otomatis akan mempelajari terms yang lain seperti remote cause, direct and indirect cause, direct and indirect loss, single and concurrent cause, dan lain-lain.
Jika kita telah mempelajari dengan mendalam prinsip proximate cause dan menerapkannya pada wording polis maka ketiadaan SIM yang valid (belum diperpanjang) seharusnya tidak serta merta menjadikan sebuah pengajuan klaim asuransi PA tertolak secara otomatis. Coba kita baca kembali redaksional yang sering dijadikan landasan atas penolakan klaim di atas. Dalam wording PSAKDI Pasal 4 ayat 1 butir 1.4 disebutkan ”Polis ini tidak menjamin kecelakaan yang terjadi sebagai akibat langsung dari Tertanggung melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan demikian, petugas yang menganalisa klaim harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa kecelakaan -yang menimbulkan cedera badan- tersebut disebabkan secara langsung (directy caused by) oleh suatu tindakan tertanggung yang melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaannya, apakah ketiadaan SIM yang valid merupakan direct cause atas peristiwa kecelakaan tersebut ?. Sedangkan dari bukti-bukti yang ada, tertanggung tidak melakukan pelanggaran hukum secara langsung seperti menerobos lampu merah. Bagaimana jika tertanggung ditabrak oleh kendaraan lain saat berjalan pelan di suatu jalan raya ?. Jawaban bernada mengelak kemudian mungkin saja akan muncul : seandainya tertanggung tidak keluar rumah dengan membawa sepeda motornya tanpa SIM yang valid tentu tidak akan terjadi kecelakaan. Dari sinilah kemudian muncul kesimpulan secara terburu-buru bahwa tidak punya SIM dianggap sebagai proximate cause (yang dikecualikan sesuai isi pengecualian polis). Jawaban ini sekilas memang masuk akal : jika tertanggung tidak nekad membawa motornya tentu tidak terjadi kecelakaan. Namun apabila sedikit berfikir kembali lebih lanjut, cara menyimpulkan seperti ini justru tidak logis mengingat tidak selalu ada hubungan sebab akibat antara ketiadaan SIM dengan kejadian kecelakaan. Yang ada adalah ketiadaan SIM tadi bisa jadi hanya merupakan penyebab terpisah (remote cause) yang terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai proximate cause. Untuk membuktikan bahwa sebuah benda berupa SIM tidak selalu menjadi proximate cause hanya butuh sebuah pertanyaan : apakah ketiadaan SIM tersebut akan selalu menimbulkan atau memunculkan bahaya (perils) yang tidak akan terputus (unbroken chain of events) yaitu “tertabrak kendaraan lain” ?. Jika tidak dapat dipisahkan atau tidak mungkin ter-intervensi oleh penyebab lain (antara risiko cedera badan dengan ketiadaan SIM) maka boleh disimpulkan bahwa ketiadaan SIM merupakan proximate cause atas cedera badan yang dialami tertanggung. Sedangkan dalam kasus ini, sebenarnya “tertabrak kendaraan” itu sendiri adalah sebuah peril (bahaya) yang mengintervensi chain of events yang kemudian justru lebih tepat dianggap sebagai penyebab langsung (direct cause) sedangkan ketiadaan SIM dalam hal ini hanyalah sebuah remote cause. Lalu jika terus bermain logika guna menolak klaim, orang awam pun dapat mengajukan pertanyaan balik : apakah jika saat kejadian sudah ada SIM yang valid, tertanggung dipastikan akan terhindar dari peril yang sama yaitu tertabrak kendaraan ?.
Penutup
Apabila tidak cukup bukti yang menerangkan adanya hubungan kausalitas (sebab akibat) secara langsung (karena wording PSAKDI mensyaratkan demikian) antara kecelakaan dan ketiadaaan SIM yang valid maka klaim ini seharusnya dapat dianalisa lebih mendalam dan tidak secara tergesa-gesa dimasukkan ke dalam case klaim ditolak.